Arsip untuk Juni 22nd, 2007

22
Jun
07

Sejarah eksploitasi Sumber Daya Alam di Kalsel

Perjalanan Eksploitasi Sumber Daya Alam di Kalsel seakan tidak mau berhenti, dari suatu motif ke motif lain. Jika merujuk sejarah eksploitasi yang ada, di mulai dari masa kolonial sampai sekarang tentunya akan terutai bagaimana alam di kalsel terus dikuras. Mulai dari masa kolonial & masa kerajaan Banjar, perubahan hutan untuk perkebunan lada, kemudian dari lada ke pertambangan, kemudian hutan di konversi menjadi perkebunan karet, hutan di jadikan kawasan produksi kayu.

Pada masa kemerdekaan sebelum masa orde baru, alam kalimantan Selatan sedikit di istirahatkan. Pada orde baru eksploitasi dilanjutkan kembali, dimulai dengan pengurasan hutan oleh kegiatan HPH pada akhir tahun 60-an dan terus menuju kebangkrutan hingga sekarang. Babak selanjutnya kegiatan Hutan Tanaman Industri dengan alasan untuk rehabilitasi dan mencukupi kebutuhan industri. Hampir secara bersamaan perkebunan besar kelapa sawit dan pertambangan batubara menambah beban ekologis Kalimantan Selatan pada pertengahan 80 –an dan mencapai puncaknya pada awal 2000-an.

A. Masa kolonial[1] :

Revolusi Industri di Eropa pada abad ke- 18 membawa perubahan besar bukan cuma di eropa tapi juga berpengaruh pada bagian belahan bumi lainnya termasuk di Indonesia yang menjadi daerah jajahan Belanda. Penemuan kapal dengan menggunakan mesin uap menyebabkan Belanda pada pertengahan abad ke- 19 sudah menggunakan kapal uap sebagai pengganti kapal layar. Mula-mula kapal uap yang memakai roda berputar di bagian sisi kiri kananya, dan paling akhir memakai baling-baling biasa. Kapal-kapal uap ini memakai batu bara sebagai sumber energi yang di impor dari Eropa. Semakin banyak kapal uap dan industri di eropa yang menggunakan batu bara menyebabkan permintaan batu bara menjadi naik pula disisi lain import dari eropa tidak begitu lancar.

Belanda di Kalimantan Selatan yang gentol memonopoli perdagang lada dan mengangkutnya dengan menggunakan kapal uap membutuhkan stok batu bara yang banyak. Permintaan pasar eropa terhadap batu bara membuat Belanda ingin melakukan penambangan batubara bukan Cuma untuk memenuhan kebutuhan mereka tapi juga untuk di jual. Mulailah Belanda menyusun stategi dan mencari sumber-sumber tambang batubara.

Tambang Batu Bara Oranje Nassau

Kalimantan Selatan di pandang oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai sumber potensi lada dan potensi pertambangan. Potensi tambang yang menjadi incaran pemerintah Belanda pada waktu itu adalah intan dan batu bara. Belanda memperoleh informasi bahwa di daerah Riam Kiwa ditemukan lapisan batu bara. Informasi ini menyakinkan Belanda dan sejak itu perhatian terhadap Kerajaan Banjar lebih intensif.

Pada waktu itu di Kalimantan Selatan, kerajaan Banjar masih berkuasa dan dipimpin oleh Sultan Adam. Sistem di kerajaan Banjar mengatur adanya sistem tanah Apanase. Apanase merupakan istilah terhadap tanah milik kerajaan banjar yang diberikan konsesi pengelolaannya kepada orang atau kelompok berlangsung antara tahun 1826-1860. Sultan mempunyai hak untuk mengatur produksi yang dihasilkan dari penggarapan tanah sesuai dengan adat kerajaan turun temurun. Tanah apanase kebanyakan diberikan kepada keturunan dan sanak saudara kerajaan, dengan pertimbangan sebagai pengganti pembanyaran gaji mereka.

Sistem apanase inilah menyebabkan Belanda tidak bisa langsung dapat menguasai tanah untuk kegiatan pertambangan. Belanda kemudian menyewa tanah apanase milik pangeran Mangkubumi Kencana. Mangkubumi pada masa Pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah, untuk membuka tambang batu-bara di daerah Pengaron. Sewa tanah itu sebesar 10.000 Gulden setahun.

Pada tanggal 28 September 1849 Gubernur Jenderal Rochussen datang ke Pengaron di dalam wilayah kerajaan Banjar untuk meresmikan pembukaan tambang batu bara Hindia Belanda pertama untuk meresmikan pembukaan tambang batu bara Hindia Belanda pertama di Indonesia, yang dinamakan Tambang Batu Bara Oranje Nassau “Bentang Emas”.[2] Setelah Oranje Nassau didirikan pula dua buah perusahaan tambang dekat Martapura yakni Julia Hermina dan Delft[3]

Belanda tentunya berharap pertambangan ini memberikan mamfaat sebesarnya bagi mereka. Untuk memuluskan hal tersebut ada beberapa hal yang telah mereka lakukan merujuk dari sejarah banjar. Hal- hal yang dilakukan kolonial Belanda diantaranya :

· Pengaturan Batas Wilayah Kerajaan Banjar

Hal ini telah jauh-jauh hari sebelum pertambangan dibuka, bahkan di lakukan 2 kali yaitu pada tahun 1826 dan 18 Maret 1845. Setelah serangan penaklukan keraton Banjar di Banjarmasin pada tahun 1826 Belanda telah membuat aturan daerah mana saja yang masih dikuasai kerajaan Banjar dan menentukan pembagian wilayah-wilayah. Oleh Kolonial Belanda wilayah kerajaan Banjar di bagi berdasarkan batas-batas alam seperti daerah sungai, sungai dengan cabang-cabangnya, danau, sungai di pedalaman, gunung-gunung, pegunungan. pulau di danau, sering di pergunakan sebagai indikator untuk penentuan batas wilayah.

Namun untuk tujuan penguasaan daerah-daerah khusus seperti daerah pertambangan maka kemudian membuat kontrak baru lagi dengan kerajaan Banjar pada tanggal 18 Maret 1845 mengenai wilayah kerajaan Banjar. Wilayah baru ini lebih kecil dibanding dengan sebelumnya, yaitu hanya daerah inti dari Kerajaan Banjar yang asli saja menjadi wilayah kerajaan Banjar.

Berdasarkan perjanjian tahun 1826 dan 1845, hampir semua daerah pesisir dikuasai oleh Belanda (lihat gambar sketsa pembagian wilayah kekuasaan). Belum ada informasi lebih lanjut motif Kolonial Belanda mengusai daerah pesisir. Jika motifnya menguasai pelabuhan tentunya kurang tepat, karena pelabuhan justru berada di di di daerah sungai Martapura. Untuk menggali motif lainnya tentu informasi lebih lanjut. Namun jika melihat sebaran potensi tambang yang berada pada daerah tersebut tidak tertutup kemungkinan ada motif lainya (lihat sebaran potensi tambang dan kondisi pertambangan saat ini dimana yang terbesar kawasan pertambangan pada daerah pesisir yang dikuasai Belanda)

· Mendudukkan orang yang berpihak kepada kepentingan Belanda menjadi Pejabat di Kerajaan Banjar.

Sultan mempunyai hak untuk mengatur produksi yang dihasilkan dari penggarapan tanah, sepertinya alasan inilah yang menjadi perhatian serius oleh Kolonial Belanda. Karena sangat mungkin tanah apanase yang disewa untuk pertambangan di rubah fungsinya oleh Sultan baru.

Belanda memiliki kekuatan dalam sistem politik Kerajaan Banjar, mereka dapat menetapkan siapa yang berhak menjadi sultan, sultan muda dan mangkubumi. Pihak keraton hanya memiliki hak untuk mengusulkan saja.

Pada masa Sultan Adam berkuasa ada tiga orang yang berpotensi menjadi pengganti yaitu Sultan Tamjidilah, Sultan Hidayatullah dan Sultan Anom. Di keraton telah terbentuk kubu-kubu di tiga orang calon pengganti tersebut. Sultan Tamjidilah adalah turunan tertua Sultan Muda Abdurahman dari ibu seorang turunan cina yang walaupun berhak secara keturunan namun di tentang oleh kaum keraton dengan alasan bukan “tutus” karena lahir dari seorang ibu yang bukan orang banjar. Sultan Hidayatullah merupakan anak ke dua Sultan Muda Abdurahman dari ibu yang merupakan keturunan keraton. Sedangkan Sultan Anom merupakan anak dari Sultan Adam namun sifatnya jelek sehingga tidak didukung oleh kaum keraton dan ulama banjar.

Pihak Belanda telah memperhitungkan bahwa dari ketiga kelompok yang bersaing ini, hanya dari Pangeran Tamjidillah-lah yang dapat diharapkan keuntungan itu, dan dari dialah diharapkan akan memperoleh konsesi tambang batu bara “Oranje Nassau”. Pada tanggal 8 Agustus 1852 Pangeran Tamjidillah diangkat menjadi Sultan Muda oleh Pemerintah Belanda merangkap Mangkubumi. Dan setelah sultan Adam meninggal Tamjidilah di jadikan sultan Kerajaan Bajar. Belanda dan Sultan Tamjidilah sudah membangun konsesus dalam mendapatkan tanah apanase di Pengaron sebagai wilayah pertambangan.

Tersingkirnya Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan keraton serta telah mendapat wasiat dari sultan Adam sebagai Sultan menyebabkan terjadi pergolakan di kerajaan Banjar. Belanda coba mengatasinya dengan mengangkat Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi pada 9 Oktober 1856. Namun tindakan Belanda harus dibayar mahal dengan diharuskannya Pangeran Hidayatullah menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Belanda 30 April 1856. Pangeran Hidayat menyadari bahaya pemberian konsesi tambang batu bara ini, tetapi dia tak berdaya menghadapinya apalagi setelah Belanda menempatkan serdadunya di pusat-pusat tambang batu bara mereka.

· Mendapatkan Buruh Murah

Melihat kenyataan bahwa tambang batu bara ini mendatangkan keuntungan yang banyak bagi Belanda, Belanda mempertajam permainan politiknya. Residen yang berkedudukan di Banjarmasin ditugaskan untuk mendapatkan tenaga kerja murah[4]. Yaitu dengan mencari orang yang mempunyai hutang dan melakukan tipu muslihat agar orang berhutang. Dalam hukum yang dianut dalam Kerajaan Banjar orang yang terhutang itu adalah setengah budak[5]. Sumber lainnya adalah mendatangkan buruh tambang dari Pulau Madura.

· Meminalisasikan Pajak

Sebagaimana aturan kerajaan Banjar bahwa pengelola tanah apanase diharuskan membayar beberapa pajak. Jika semula tahan apanase yang dikelola rakyat, pajak beragam mulai dari uang sampai dengan natura. Namum ketika Belanda yang mendapatkan apanase, mereka berupaya seminimal mungkin membayar pajak ke Keraton Banjar. Salah satu upayanya dengan mempekerjakan para budak dan membuat perjanjian dengan hanya membayar uang sewa.

Penutupan Pertambangan Di Pengaron

Aksi penutupan pertambangan batubara kolonial Belanda dimulai dari reaksi petani yang terkenal dengan gerakan muning. Gerakan ini pula lah yang menjadi titik awal perang Banjar yang dimulai pada tanggal 18 April 1859. Penyerangan terhadap Oranje Nassau dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Pangeran Hidayatulah. Kenapa terjadi gerakan petani ini lalu bagaimana peran sesungguhnya Pangeran Hidayatullah terjadi belum ada informasi yang jelas dan perlu penggalian lebih lanjut.

Peperangan terjadi di wilayah pertambangan ini, pasukan Belanda berperang dengan melibatkan sekitar 165 buruh tambang batu bara. Perang ini menyebabkan banyak buruh tambang yang meninggal dan 20 orang Belanda yang menjadi korban diantaranya Wijnmalen direktur tambang batu bara Kalangan, Ir. Motley, Opzichter School Boodt dan lain-lain. Pertambangan ini akhirnya ditutup sekitar bulan Juni 1859[6] setelah beroperasi kurang lebih 10 tahun.

Pertambangan di Pulau Laut

Risiko seperti yang dihadapi oleh site pertambangan di daerah Martapura (Pengaron) itu tidak mengecilkan semangat para investor untuk menanamkan modalnya pada usaha pertambangan Batubara, karena prospeknya yang kelihatan cerah. Walaupun kompetisi di pasaran terjadi dengan batu bara yang diproduksi Inggeris, namun Belanda optimis bisa memenangkannya. Hal ini dikarenakan mereka bisa menekan harga jual karena belanda mililiki kapal-kapal yang mempunyai daya angkut besar sehingga dapat menekan harga angkutan dari Asia ke Eropa.

Pada tahun 1903 telah di didirikan Perusahaan Pertambangan Batubara oleh Belanda di Pulau Laut. Modal yang semula direncankan 180.000 gulden dinaikkan menjadi 2 juta gulden untuk membuat riset tentang situasi geologi daerah ini. Dari laporan ini banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Pulau Laut. Belanda juga telah menyiapkan hal-hal pendukung sehingga pada investor dapat bekerja dengan baik[7]. Perusahaan Tambang Pulau Laut (De Steenkolen-Maatschappij ‘Poeloe Laoet’) mengeksploitasi batu bara di Semblimbingan Pulau Laut membuat jalan angkut sepanjang 5 kilometer ke Pelabuhan Stagen yang berjarak 5 kilometer.[8]

Produksi dari site di Pulau Laut sebanyak 80.000 ton per tahun 1905. Pada tahun 1908 kemampuan produksi maksimum tercapai. Jumlah pegawai bertambah dari 150.000 orang kuli menjadi 2,300 orang kuli pada tahun 1910. Pulau Laut menjadi kekuatan ekonomi yang besar, menjadi salah satu daerah tambang batu bara terbesar di wilayah jajahan Belanda. Pada tahun 1912 pertambangan itu menghasilkan 165.000 ton.[9]

Keberhasilan Pulau Laut sebagai eksportir batu bara didukung oleh lokasi pelabuhannya Stagen yang terletak dalam jalur pengapalan besar yang mudah dilalui berbagai macam kapal dari Makassar. Sebelum tahun 1909 paling tidak 3/5 dari hasil tambang diekspor ke luar negeri antara lain ke Jerman. dimana batu bara Pulau Laut banyak dipakai oleh Norddeutscher Lloyd. Bremen.

Pasca Perang Dunia I terdapat tiga perusahaan tambang besar milik Eropa yang beroperasi di bidang pertambangan batu bara yakni Perusahaan Tambang Pulau Laut, Oost Borneo Maatschappij (OBM) OBM dan Parapattan Baru di Sambaliung. Ketiga perusahaan itu saling bersaing baik dalam hal kapasitas produksi, jumlah buruh yang digunakan maupun keuntungan yang diperoleh perusahaan. Pada tahun 1919-I922 Perusahaan Tambang Pulau Laut memperoleh keuntungan melebihi perolehan OBM dan Parapattan. Namun pada tahun-tahun berikutnya keuntungan Perusahaan Tambang Pulau Laut semakin menurun hingga sampai memperoleh kerugian sebesar 260.000 gulden. Perusahaan Pertambangan Pulau Laut mengalami penurunan sehingga dibubarkan pada tahun 1930. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan dari negara-negara produsen yang lain di pasaran dunia dan tidak menentunya pasaran batu bara.[10]

B. Masa Ordelama

Kebijakan nasional menutup perusahaan asing termasuk batubara di kalsel. Pertambangan yang ditinggalkan oleh penjajah banyak yang tidak terurus lagi. Sedangkan di di negara-negara lain industri pertambangan mem-booming[11] Kebijakan menutup seluruh perusahan asing ini adalah bagian dari program nasionalisasi yang diberlakukan oleh pemerintahan Orde Lama terhadap semua perusahaan milik asing terutama Belanda. Pemerintahan Indonesia yang baru saja berhasil mendapatkan kemerdekaannya itu dari tangan jajahan Belanda menerapkan kebijakan nasionalis yang dilandasi oleh prinsip bahwa seluruh kekekayaan bangsa Indonesia haruslah bermanfaat untuk sebesar-sebesarnya kesejahteraan bangsa Indonesia sendiri. Sampai dengan berakhirnya masa regim pemerintahan Orde Lama ditahun 1965/1966, kegiatan pertambangan batu bara di Kalsel prakstis berhenti (?).

C. Masa Ordebaru

Kegiatan eksploitasi sumber daya alam secara umum di Indonesia secara besar besaran di mulai dengan berkuasanya pemerintahan Suharto. Di awali dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS Tahun 1966, Pembaharuan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Perubahan kebijakan ekonomi pada tahun 1966, yang diikuti ‘angin segar’ menciptakan kegiatan penambangan kembali serta eksploitasi hutan di Indonesia. Keluarnya UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman Modal Asing yang membuka pintu kepada negara luar melakukan eksploitasi sumber daya alam Indonesia. Kemudian UU tersebut di dukung oleh UU No 5 tahun1967 tentang Pokok Kehutanan yang menyebabkan “pengelolaan hutan diserahkan pemerintah kepada pengusaha baik swasta dan negeri. Pada tahun 1970 keluar PP. 21 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan pemungutan Hasil hutan. Tidak Cuma yang ada diatas bumi (hutan) yang akan di eksploitasi namun juga yang ada di perut bumi juga akan di keruk. Hal ini dengan dikeluarkannya UU No 11 tahun 1967 tentang pertambangan.

(apakah ada kaitan antara dorongan asing untuk mendapatkan akses dengan UU pertambangan itu…satu kalimat aja nggak perlu detail dan panjang….)

Penanaman modal asing di Pertambangan diawali dengan serangkaian undangan internasional (apa maskudnya ya?) kepada pengusaha-pengusaha swasta asing. Departemen Pertambangan mengawali undangan internasional ini untuk pengembangan timah pada tahun 1966, disusul nikel pada tahun 1967, mineral secara umum pada tahun 1968 dan untuk pengembangan batu bara pada tahun 1978[12]

Di Kalimantan Selatan sekitar tahun 1968, Kodeco dan PT. Valgoson mendapat ijin Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Pada awal pelita II terdapat 10 HPH dan mengalami lonjakan pada akhir pelita II dengan 21 HPH. Diakhir masa orde baru terdapat 12 HPH tetapi yang masih aktif hanya 6 itu pun yang berproduksi sampai 97/98 hanya 5 adalah PT. Kodeco Timber, PT Yayang, BUMN Inhutani II, PT. Sumpol Timber1. Akibatnya Hutan di Kal Sel mengalami krisis. Berdasar data peta RePProt dari tahun 1985 – 1997 hutan di Kalimantan Selatan menyusut sebesar 44,4 % untuk dua belas tahun atau seluas 769.713 Ha dengan kata lain 3,7 % per tahun, padahal menurut data tersebut deforestrasi nasional 1,5 %2. Menurut Ir Santoso N Kanwil Kehutanan Kalsel dari luasan lahan HPH di Kalsel tercatat 868 ribu Ha dan yang masih merupakan hutan yang baik tinggal 150 ribu Ha pada tahun 1997.1 Sedangkan pada tahun 1993 – 2004 deforestasi sebesar 90.752 ribu ha pertahun. Berdasarkan analisis citra landsat tahun 2003 hutan primer kalsel hanyalah seluas 136.597,161 Ha atau 3% dari total luas wilayah propinsi ini

Sektor pertambangan di Kalimantan Selatan di mulai dengan di keluarkannya kebijakan Kepres No. 49/1981 mengenai Kontrak Pengusahaan Batubara Generasi I atau yang lebih dikenal dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Di Kalimantan Selatan ada 3 perusahaan yaitu PT. Arutmin, Adaro dan PT. Chong Hua OMD (yang kemudian dicabut ijinnya). Ketiga kontraktor ini diberi cadangan areal sekitar 230.000 hektar. Lokasi tambang Arutmin berada di Kabupaten Kota Baru, sementara Adaro di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Tabalong, sedangkan Chung Hua OMD di Kabupaten Banjar. Arutmin dan Adaro berpatungan dengan Broken Hill Property (BHP), perusahaan tambang batu bara dari Australia

Pada tahun 1993, jumlah perusahaan pertambangan dengan menggunakan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bertambah dengan dikeluarkannya Kontrak Pengusahaan Batubara Generasi II melalui kebijakan Kepres No. 21/1993 terdiri dari 5 perusahaan yaitu PT. BCS, Bantala CM, Antang Gunung Meratus, Jorong Barutama, Borneo Indobara.

Kontrak Pengusahaan Batubara Generasi III di keluarkan dengan kebijakan Kepres No. 75/1996 terdiri dari 11 perusahaan yaitu PT. Mantimin Coal Mining, Bara Pramulya Abadi, PT. Generalindo Prima Coal, Wahana barata Mining, Ekasatya Yanatama, Lianganggang Cemerlang, Sinarindo Barakarya, Adibara Bansatra, Bukit Kalimantan Indah, PT. Senamas Energindo Mulai, PT. Kalimantan Energi Lestari.

Jika diurut alur eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan Selatan dimulai dengan eksploitasi hutan pada akhir 60-an dan mengalami kebangkrutan pada awal tahun 2000. Setelah hutan dijarah oleh kegiatan penebangan eksploitasi sumber daya alam dilanjutkan oleh kegiatan Perkebunan dan Pertambangan terutama pertambangan batubara. Hutan yang bangkrut dan industri perkayuaan meningkat adalah salah satu alasan pemerintah untuk membangun hutan tanaman industi (HTI), sekarang ini terdapat 15 HTI murni dan 4 HTI Transmigrasi. Perkebunan skala besar kelapa sawit mencapai kemajuan pesat mencapai luasan sekitar 173,392 ha pada tahun 2006.

Disektor pertambangan terjadi hubungan mutualis antara HPH. Fasilitas yang dibangun HPH sebagai pendahulunya maupun status kawasan sangat membantu ekspolitasi pertambangan menjadi lebih mudah. Jalan angkut logging HPH PT. Sumpol Timber yang sudah hampir bangkrut digunakan dengan mulus oleh perusahaan pertambangan besar PT. Arutmin di daerah Satui. Jalan logging HPH PT. Alam Unda di manfaatkan oleh KP-KP kecil maupun pelaku Penambangan Tanpa Ijin (PETI) sebagai jalan angkut hasil eksploitasi baru bara. Status HPH menyebabkan hilangnya hak masyarakat atas sumber daya alam karena dengan menjadi wilayah konsesi HPH maka otomatis hak rakyat dianggap tidak ada, hal ini banyak tidak disadari masyarakat setempat. Ketika konsesi HPH di konversi menjadi kawasan pertambangan maupun perkebunan tentunya pengusaha akan mendapat kemudahan. Bisa saja pengusaha pertambangan maupun perkebunan berpendapat bahwa hak rakyat terhadap kawasan tidak ada sejak adanya HPH di kawasan tersebut. Praktek perampasan hak rakyat tanpa negosiasi ganti rugi terjadi pada masa orde baru misalnya saja masyarakat Dayak Samihim yang dulunya diwilayah mereka terdapat konsesi HPH PT. Pamukan Djaya ketika ijinnya di rubah menjadi perkebunan kelapa sawit maka perusahaan dengan seenaknya saja menghancurkan ladang, kebun rotan, kebun kopi karena hanya dianggap tanaman liar saja.[13]. (Praktek serupa di sektor pertambangan dokumen contoh kasusunya masih dicari).

Pesatnya eksploitasi sumber daya alam menyebabkan banyaknya terjadi tumpang tindih maupun rebutan lahan. Belum berakhirnya episode HPH secara tuntas perkebunan dan pertambangan mulai marak. Begitu pula Hutan Tanaman Industi, belum selesai ditanami sudah ada blok-blok konsesi pertambangan di kawasan tersebut. Begitu pula antara perkebunan dan pertambangan saling berebutan lahan.

Menurut data dari dinas kehutanan tahun 2006 kawasan tambang yang tumpang tinduh dengan kawasan pengusahaan hutan baik itu HPH maupun HTI terdapat sedikitnya 18.101 Ha. Lima perusahaan HTI yang tumpang tindih dengan tigabelas perusahaan tambang PKP2B maupun KP. Empat perusahaan HPH dari lima perusahaan HPH aktif yang tumpang tindinh dengan sembilan perusahaan tambang PKP2B maupun KP.

Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan (Dishut) Kalsel, 290 ribu hektare (Ha) HTI tumpang tindih dengan lahan batu bara. “Itu tersebar di berbagai wilayah Kalsel,” kata Kadishut Ir Sony Partono. HTI tersebut ada yang sudah digarap, ada yang belum. “Kita meminta kuasa pertambangan (KP) yang melakukan pinjam pakai lahan atau mengubah fungsi untuk melengkapi persyaratannya,” kata kepala dinas kehutanan ini. Salah satu perusahaan yang harus memenuhi persyaratan Departeman Kehutanan adalah PT Gunung Antang.

Pertambangan pertambangan yang berada di kawasan hutan berdasarkan data dinas kehutanan Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut :

Status kawasan Hutan

Luasan

Jumlah Perusahaan

Keterangan : jumlah dihitung berdasarkan data perkabupaten sehingga perusahaan yang berada di lebih dari 1 kabupaten akan di hitung beberapa kali misalnya PT. Arutmin yang berada di 3 Kabupaten maka di hitung 3 kali. Tabel diolah berdasarkan data tumpang tindih pertambangan di kawasan hutan tahun 2006dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan

Gambar. Peta tumpang tindih Kawasan Hutan, konsesi HPH aktif, Konsesi HTI dan Konsesi Pertambangan

Dari data kawasan hutan yang dilepas menjadi perkebunan pada tahun 2001 terjadi tumpang tindih kawasan perkebunan dengan kawasan pertambangan seperti tabel di bawah ini :

Perusahaan Perkebunan

Jumlah Perusahaan Tambang

POLA

Luas (Ha)

Data diolah bersumber dari peta pelepasan lahan untuk kegiatan perkebunan Departemen Kehutaan RI tahun 2001

Salah satu kasus yang muncul kemedia mengenai tumpang tindih kawasan perkebunan dengan pertambangan adalah Konflik PT Gawi Makmur Kalimantan (PT GMK) dan CV Putra Parahyangan Mandiri (PPM). PT. GMK merupakan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan izin Hak Guna Usaha (HGU) di Desa Sekapuk, Setarap, Batu Barat Jombang, dan Sungai Danau, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu. Sedangkan CV. PPM merupakan perusahan pertambangan yang memiliki KP, perusahaan ini kemudian mengontrakan lahannya ke PT Usaha Kawan Sejati . PT. GMK melaporkan CV. PPM dengan tuduhan melakukan penambangan di wilayah HGU mereka dan menuntut Bupati Tanah Bumbu[14] untuk membatalkan SK Bupati Tanah Bumbu No 545/53-EX/KPD.PE tentang pemberian kuasa pertambangan eksploitasi (TB.04 JUNPR 49) atas nama CV Putra Parahayangan Mandiri.[15]

Semasa orde baru berkuasa sampai dengan menjelang otonomi daerah di Kalimantan Selatan terdapat konsesi pertambangan dengan perijinan PKP2B seperti di bawah ini :

PKP2B berdasarkan tahapan kegiatannya

Penyelidikan Umum

Eksplorasi

Eksploitasi

Produksi

Total

Sumber : Statistik Mineral & Batubara Indonesia tahun 2005. Departemen ESDM

PKP2B berdasarkan Generasinya

Status Kontrak

Jumlah Perusahaan

Tahun Keluar Ijin

Luas Total

Sumber : Statistik Mineral & Batubara Indonesia tahun 2005. Departemen ESDM

Direktorat Jenderal pertambangan Umum bersama Kanwil Pertambangan Kalimantan Selatan pengembangkan pola pertembangan skala kecil berbentuk KUD seperti KUD Maduratna Pengaron, KUD Karya Usaha dan KUD Bersama di Kabupaten Tapin dan Banjar[16]. Sehingga mulai tahun 1990 pemerintah pusat mengeluarkan kuasa pertambangan skala kecil pada 7 buah koperasi serta 1 buah perusahaan negara dengan luasan total 276.792 Ha.

Kebijakan memberikan izin pertambangan memberi peluang terjadinya perampasan hak-hak atas kehidupan yang layak bahkan dapat menggusur pemukiman. Penambangan batu bara di Kabupaten Balangan, misalnya, berdampak terhadap tatanan kehidupan sosial masyarakat. Akibat aktivitas tambang di kabupaten ini, dua desa ikut lenyap yaitu Lamida Atas di Kecamatan Paringin dan Wonorejo di Kecamatan Juai. Penambangan batu bara di tempat itu telah membuat desa itu tergusur seiring perluasan areal tambang PT Adaro Indonesia 2003 lalu. Perusahaan PMA itu melakukan pembebasan lahan dan memaksa warga pindah ke desa lain setelah diganti rugi. Beberapa infrastruktur milik pemerintah seperti sekolah dan balai desa hingga tempat ibadah juga ikut tergusur. Tak terkecuali objek wisata gunung Tutupan dan Gunung Jejer Walu yang berbatasan dengan Tabalong. “Kegiatan pertambangan juga banyak menutup DAS, sehingga membuat genangan air. Bahkan pertanian dan perkebunan warga selalu dikalahkan jika ada lahan yang mengandung tambang mineral.[17]

D. Pasca-Suharto

Terdapat perbedaan yang cukup besar tentang skala dan tingkat eksploitasi di masa sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan. Pada masa setelah regim Orde Baru berganti, total ijin Kuasa pertambangan masih (yang telah?) dikeluarkan pemerintah pusat, yaitu 37 buah kuasa pertambangan dengan total luasan 131.258 Ha.

Sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan, pemerintah dalam hal ini Dirjen Pertambangan ? mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 75/2001 yang memberikan kewenangan kepada para bupati untuk mengeluarkan izin pertambangan berupa Kuasa Pertambangan (KP). Sejak itulah setiap kabupaten seakan berlomba lomba mengeluarkan ijin pertambangan. Banyak KP pertambangan dengan ukuran kecil diberikan pemerintah kabupaten. Obral KP“100” banyak dikeluarkan pemerintah kabupaten dengan ukuran 100 hektar-an[18].

Sampai dengan tahun 2005 saja, enam bupati di Kalsel sudah mengeluarkan ijin Kuasa Pertambangan (KP) kepada 326 perusahaan pertambangan.[19] Namun data mengenai siapa perusahaanya, berapa luasan dan dimana lokasi tambangnya pada saat ini masih sulit di dapatkan secara resmi oleh tim studi. Sedangkan berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas Pertambangan Propinsi per-November 2004 sedikitnya terdapat 267 perusahaan dalam berbagai tingkatan.

Model Pertambangan skala kecil yang sudah dikembangkan sejak tahun 1990 kemudian dilembagakan dalam sebuah Keppres RI No. 127 Tahun 2001 Tentang Bidang/Jenis Usaha yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau besar dengan syarat kemitraan. Salah satunya mengatur Pertambangan Skala kecil, inilah juga yang memiju lajunyajumlah kuasa pertambangan pada masa otonomi daerah karena orang/kelompok usaha mendapat kemudahan membuat unit usaha pertambangan dan tentunya didukung oleh kemudahan dari pemerintah (lihat tipologi pertambangan). Salah satunya adalah pemerintah kalimantan selatan memberikan fasilitas jalan negara sebagai jalan angkut batu bara.

Banyak KP yang ternyata tumpang tindih dengan konsesi pertambangan lainnya seperti PKP2B. Banyaknya permasalahan konflik lahan antar pengusaha mengenai tumpang tindih lahan menyebabkan pemerintah mengeluarkan SURAT Edaran (SE) Nomor 1614 Tahun 2005 tentang ketentuan agar kepala daerah tidak membuat izin KP. Namun akhir tahun 2006 surat ini dicabut (apa tahu cerita dibalik ini?) dan pemerintah kabupaten di perbolehkan lagi mengeluarkan ijin Kuasa Pertambangan. (angka berapa persen lahan kabupaten di kalsel memiliki konsesi pertambangan, dugaannya sekitar 40 – 50%).


[1] Tulisan ini sebagian besar merujuk dari Buku Sejarah Kalimantan Selatan edisi soft file pada bab zaman baru

[2] Dikutip pada Buku Sejarah Banjar pada bagian zaman baru hal 158

[3] Dikutip pada Buku Sejarah Banjar pada bagian zaman perintis kemerdekaan hal 20

[4] Dikutip pada Buku Sejarah Banjar pada bagian zaman baru hal 158

[5] Lihat struktur klas masyarakat di kerajaan Banjar

[6] Merujuk dari kesepakatan dari Mangkubumi Pangeran Hidayat dan Kolonel Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan Siasat menempatkan Pangeran Hidayat sebagai Sultan dan menurunkan Pangeran Tamjidillah pada tanggal 25 Juni 1859 karena Belanda menilai penyerangan tambang merekaberkaitan dengan kekuasaan di Kerajaan Banjar. Pangeran Hidayatulllah dinilai sebagai tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang mereka sehingga harus di jinakkan.

[7] Dikutip pada buku sejarah kalimantan selatan bagian zaman baru hal 72-73

[8] Dikutip pada buku sejarah kalimantan selatan bagian zaman perintis kemerdekaan hal 20

[9] Dikutip pada buku sejarah kalimantan selatan bagian zaman baru hal 73

[10] J. Thomas Lindblad, op.cit. hal. 89-90. Dalam buku sejarah kalimantan selatan bagian zaman perintis kemerdekaan hal 21

[11] Sejarah Ringkas Industri Energi dan Sumber Daya Mineral di Indonesia, diambil dari website ESDM

[12] Sejarah Ringkas Industri Energi dan Sumber Daya Mineral di Indonesia, diambil dari website

1 Statistik kehutanan Kalsel97/98

2 Seperti yang di tuturkan Ka. Biphut Wil. V Kepada Kalimantan Post 14 Juni 00

3 Banjarmasin Post 2 Agustus 1998

[13] Lihat laporan Advokasi perkebunan besar kelapa sawit Dayak Samihim dan Laporan Studi Sistem Hutan Kerakyatan Walhi Kalsel, 1998-1999

[14] Sewaktu itu dijabat oleh Bupati Sukardhi yang merupakan bupati carateker yang tak berwenang mengeluarkan produk keputusan prinsip seperti mengeluarkan izin KP. izin KP tersebut juga tidak berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan negara sesuai dengan pasal 20 ayat (1) UU No 32/2004. Izin KP yang dikeluarkan juga tak memuat ukuran skala yang ditetapkan oleh PP No 32/1969 tentang ketentuan pokok pertambangan. Menurut putusan peta lampiran, lokasi kegiatan meliputi sungai Batulaki. Padahal melakukan kegiatan di sempadan sungai tak diperkenankan oleh UU No 23/1997 tentang lingkungan hidup.

[15] Radar Banjarmasin, 15/10/2006

[16] Konflik Di Daerah Pertambangan, LIPI 2004

[17] Banjarmasin Post, 07/08/2006

[18] Lihat tabel tumpang tindih kuasa pertambangan dengan kawasan hutan atau tabel kuasa pertambangan di Kabupaten kotabaru pada lampiran

[19] Kompas, Jumat, 28 Juli 2006




Juni 2007
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930